• Asal Usul Kampung Idiot di Ponorogo

    Date: 2013.02.16 | Category: Uncategorized | Tags:
    Mereka Terpaksa Berebut Gizi dengan Tikus
    Keberadaan kampung idiot di Ponorogo bukan hal yang baru. Mereka sudah ada sejak puluhan tahun silam. Hingga kini kampung itu pun masih ada. Bukan karena dipelihara atau dilestarikan. Namun menghilangkan predikat idiot sendiri tentu tak semudah membalik telapak tangan.  Banyak sudah program pengentasan yang dilaksanakan, pendampingan yang dilakukan elemen pemerintah maupun swasta dan juga bantuan yang diberikan. Namun, warga yang idiot itu masih saja idiot. Disebut lantaran banyak warga di desa itu yang mengalami keterbelakangan mental. Satu kampung jumlahnya mencapai ratusan. Sehingga dengan mudah kita menjumpai warga dengan kecerdasan otak di bawah standar itu.
    Ada sebagian yang menilai sebutan kampung idiot terlalu ekstrim dan merendahkan harkat mereka. Sehingga, ada  yang menggunakan istilah kampung dengan warga keterbelakangan mental. Ada lagi yang menyebutkan kampung berkebutuhan khusus. Apapun istilahnya, tak bisa dipungkiri bahwa di kampung tersebut memang banyak warga yang berkebutuhan khusus dikarenakan mengalami keterbelakangan mental atau lazim disebut idiot.
    Ada lima desa di ponorogo yang mendapatkan sebutan kampung idiot.  Yakni, desa Dayakan di kecematan Badegan, desa Sidoharjo dan Krebet ( keduanya di kecamatan Jambon ). Dua desa lagi adalah Desa Karangpatihan serta Pandak di Kecamatan Balong. Dari lima Desa itu, Sidoharjo menjadi desa dengan Jumlah penduduk idiot tertinggi. Berdasarkan data pemerintah desa setempat, saat ini, terdapat 316 warga yang mengalami keterbelakangan mental itu. Dibanding tahun lalu, jumlah sudah turun. Tahun lalu jumlah warga idiot ada 318 orang. Total, jumlah warga di desa tersebut ada 4.300 jiwa.
    Desa Sidoharjo berada sekitar 18 kilometer dari gedung lantai delapan sebagai pusat pemerintahan Ponorogo. Atau 30 menit menggunakan kendaraan bermotor. Dari pusat kota, meluncur melalui jalan raya jurusan Wonogiri. Setiba di Desa Srandil, satu desa yang memiliki situs kerajaan Bantarangin, kendaraan di belokkan ke kiri melintasi SMA Badegan. Hingga akhirnya tiba di pusat pemerintahan kecamatan Jambon merupakan kecamatan baru pecahan dari kecamatan badegan dan Kauman. Sehingga, pusat pemerinthan itu pun berada jauh masuk dari akses jalan raya masuk kabupaten. Dan Desa Sidoharjo sendiri juga bentukan desa baru yang sebelumnya tergabung dengan Desa krebet yang tak jauh dari kantor kecamatan, hanya sekitar tiga meter. Karena Sidoharjo dulu bergabung dengan krebet, maka sebutan kampungidiot itu juga melekat dengan Krebet. Sebutan kampung idiot tersebut, dengan sendirinya lepas dari Krebet sejak tahun 2006 bersamaan berdirinya Desa Sidoharjo.
    Keberadaan warga idiot di Sidoharjo dan beberapa desa lainnya itu bukan terjadi secara kebetulan. Ada benang merah yang mengaitkan lima desa itu. Sehingga warganya banyak yang mengalami keterbelakangan mental. Geografis kelima desa itu ( Dayakan, Sidoharjo, Krebet , Karangpatihan, dan Pandak ) berada pada jalur yang sama. Yakni, lereng Gunung Rajekwesi yang melingkar dari kecamatan Badegan hingga kecamatan Balong. “ Tanah di desa kami itu tanah tandus. Tanaman padi dan jagung hanya bisa tumbuh di musim penghujan. Itupun tidak semua lahan bisa ditanami padi, ketika kemarau datang nyaris sebagian tubuh gunung tampak telanjang dengan batu hitam menonjol. Atau, pohon – pohon keras yang meranggas tingal ranting. Kalaupun masih ada tanamanan yang bisa ditanam, itu hanyalah pohong ( ketela pohon).
    Kebetulan desa yang paling luas menenpati lereng Rajekwesi adalah Desa Sidoharjo. Desa itu berada pada lereng sisi utara gunung. Bahkan, ada sekitar 30 kepala keluarga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari puncak Rajekwesi. Banyaknya warga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari alam gunung yang cadas itulah, diduga menjadi pemicu Sidoharjo menjadi desa yang paling banyak warga idiotnya. Maklum, dulunya kondisi gunung Rajekwesi memang memprihatinkan. Sekitar 1950 hingga akhir 1960, terjadi pagebluk atau masa kesulitan bahan makan bagi warga dikawasan ini. Kala itu, ada prahara hama tikus yang menyerang semua tanaman warga. Hanya tanaman gemblong atau sejenis tanaman talas warna hitam  dan gatal yang dimakan tikus. Dengan terpaksa, talas yang akhirnya dijadikan makanan utama. Tiap hari, warga pergi ke gunung mencari gemblong di sela – sela tanaman liar. Setelah di kupas, talas dengan daun hitam tersebut direbus atau di kukus dan langsung dimakan. Tidak ada pilihan lain bagi masyarakat setempat selain mengkonsumsi makanan babi itu. Tak terkecuali ibu hamil. Perempuan yang seharusnya mendapatkan gizi lebih itu sehari – harinya juga makan gemblong terus. Toh kalau ada makanan yang lebih baik, saat itu,  hanyalah gaplek yang dimasak menjadi tiwul.
    Dalam kondisi seperti itu, penduduk tidak lagi memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan gizi bagi jabang bayi di kandungan mereka. Bagaimana kebutuhan zat gizi, yodium, atau senyawa DNA yang bisa meningkatkan kecerdasan bayi mereka nantinya. Jangankan untuk mencukupi kebutuhan makan empat sehat lima sempurna plus susu formula khusus bagi ibu hamil, bisa makan dan bertahan hidup bagi mereka sudah cukup. Hal seperti itulah yang menyebabkan banyak banyak bayi pada rentang tahun 1950 – 1970, yang lahir dengan tidak normal. Baik secara fisik maupun mental. Banyak bayi kurang gizi, yang yang akhirnya menyebabkan pertumbuhan syaraf mereka abnormal, sehingga ada yang lumpuh, mengalami kebutaan, tunarungu, dan pertumbuhan fisik yang tidak normal.
    Kondisi itu diperparah dengan lambannya pemulihan perekonomian di era Presiden Soeharto kala itu. Hama tikus tak kunjung hilang sehingga warga tidak bisa menanam bahan makanan. Saat itu orang cuma berfikir bagaimana mereka bertahan hidup. Orang tua, tak lagi bisa memikirkan masa depan anak – anaknya. Anak yang mengalami cacat itu dibiarkan tumbuh secara alami. Tak ada program gizi tambahan, pendampingan, atau pun pendidikan khusus sesuai kondisi mereka. Akhirnya si anak tumbuh dan berkembang dengan segala keterbatasanya. Yang buta tidak bisa melihat gersangnya gunung Rajekwesi. Yang tuli juga tak pernah mendapat pengajaran selain apa yang ia lihat. Pun yang mengalami lumpuh dan syaraf hanya bisa duduk terpaku di rumah dulu. Anak – anak berkebutuhan khusus itu, tak bisa sekolah. Selain tak ada sekolah inklusi ( berkebutuhan khusus ) kesadaran untuk sekolah saat itu juga nyaris tak ada. Kondisi ekonomi saat itu memaksa warga hanya berfikir bagaimana bertahan hidup. Mungkin dipikiran mereka saat itu buat apa sekolah kalau hidup saja susah. Toh sekolah tidak menjamin hidup mereka lepas dari kesusahan.
    Sumber : Radar Ponorogo Rabu 22 Februari 2012